SOSOK Hayati Zega

 

SOSOK

 

Hayati Zega



Dibalik Cerewet Ibu

Cerewet dan rawel. Itulah yang membuat Hayati Zega (64) bertahan menjadi seorang ibu yang mendidik 10 anak. Ibu 26 cucu ini berhasil menyukseskan anak-anaknya dari desa yang terpencil, Nias Utara. Anaknya berhasil memegang berbagai profesi, penjahit, pengusaha, karywan di perusahaan dan sebagian yang masih ada di bangku sekolah. Melalui seorang ibu inilah, perjalanan anak-anaknya berhasil.




OLEH IMAN SETIA HAREFA

Hayati zega, warga Namohalu Kecamatan Namohalu Esiwa, Kabupaten Nias Utara, ini merupakan seorang ibu yang usianya sudah 64 tahun yang berhasil membawa keluar anak-anaknya dari desa yang terpencil dengan sukses dengan berbagai profesi. Tentu saja itu semua tidak terlepas dari usaha seorang ibu mendidik anak-anaknya dari kecil sampai sukses.

“Mungkin saja mereka tidak sukses sekarang ini jika saya tidak setiap pagi membangunkan mereka dengan suara keras, cerewet dan kadang saya siram pakai air serta pukul alat-alat di dapur biar mereka bangun untuk sekolah” katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh sehinga terlihat giginya yang masih utuh, Senin pekan lalu. Pada tahun 90-an di Nias masih sangat susah perekonomian dan bahkan pendidikan sangat sulit di jangkau karena selain jarak, jalan rusak menjadi penghambat serta fasilitas sekolah yang tidak mendukung. Dulu bagi orang Nias, bekerja lebih penting dari pada sekolah namun bagi seorang ibu ini, sekolah adalah yang terpenting selain bekerja.

Dengan nada serius Hayati mengatakan bahwa selain cerewet dan rawel tiap pagi, sabar dan berusaha merupakan hal yang paling penting untuk dimiliki seorang ibu dalam mendidik anak. “Kalau saya memanjakan anak-anak saya sejak dari kecil, mungkin mereka tidak sesukses ini. Saya juga tentu saya sayang kepada mereka tapi kasih sayang itu terletak pada cara kita mendidik mereka” kata Hayati dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menambahkan bagaimana cara menyeimbangi antara tegas dan kasih sayang. Ternyata ibu yang kuat dan tegas ini memiliki hati yang lembut atau gampang mencucurkan air mata. “Bagaimana tidak, kadang mereka membuat saya menangis karena tingkah laku mereka, ke-10 mereka itu telah saya rasakan berbagai tingkah dan karakter mereka, hanya saya tidak menyerah” sambil mengoleskan sebuah kain di pipinya. Ternyata kesabaran lebih dibutuhkan dari cerewet seorang ibu ini.

Seorang Penjahit Anak Petani

            Hayati, yang dulunya seorang anak petani di Hiliana’a yang memiliki 6 saudara masih bergulat terus sampai sekarang di perkebunan, cita-citanya yang ingin sekolah telah di hambat oleh ayahnya untuk bekerja atau membantu di kebun dan sawah. Akhirnya dia memilih untuk menjadi seorang yang menjahit pakaian. “Model jahitan sekarang berbeda dengan dulu, kalau dulu itu sangat mudah dan tidak ada hiasan-hiasan seperti sekarang ini” katanya sambil tertawa pelan. Dia juga pernah menjahit seragam lomba paduan suara dan berbagai jenis pakaian pada masa itu namun itu tidak bertahan lama semenjak dia menikah dengan seorang laki-laki yang sangat dia cintai yaitu Faozaro Harefa. Pekerjaannya berubah menjadi seorang petani dan ibu rumah tangga. Awalnya mereka tinggal di Afulu dan setelah berbagai pertimbangan bersama akhirnya mereka pindah ke Namohalu. Di Afulu, mereka sudah mempunyai anak 8 orang dan di Namohalu 2 orang sehingga mereka mempunyai 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan.

            Ocehan seorang ibu ini sudah menjadi makanan anak-anaknya setiap pagi, dipaksa sekolah karena dia tau nasib anak-anaknya akan sama seperti dia jika tidak dipaksa untuk sekolah yang jauhnya 8 km dari rumah. “Kadang mereka mencaci maki saya karena mereka di paksa setiap hari, tapi saya hanya menangis di perjalanan menuju kebun sambil bertanya, apakah saya gagal menjadi seorang ibu?” katanya sambil mengambil foto anak ke-2 yang dipajang dekat lemari. “Anak ini juga saya pernah tangisi karena dia merantau dan tidak pernah balik selama beberapa tahun, saya masih ingat pada malam hari bersama anak saya yang ke-9” katanya sambil menunjuk foto anaknya itu. Ternyata di Nias sangat susah mencari uang pada saat itu karena pada masa krisis pada tahun 90-an sampai 2000-an. Harga pohon getah pada saat itu masih 2.500/kg. Sedangkan mereka harus mencari uang makan dari pohon getah yang dijual sekali seminggu pada hari sabtu. Dulu dia berpikir bahwa menjadi seorang ibu adalah hal yang biasa, namun kali ini dia berubah pikiran, “tenyata menjadi ibu tidak lebih dari seorang yang mau anak-anaknya berhasil” ujarnya sambil  mengunyah sirih.

            Jasmani dan Rohani

“Saya tidak menyesal memberi makan anak-anakku  sebuah ubi, daun singkong dan makanan-makanan kampung, saya malah lebih bangga mereka makan makanan itu, mereka saat ini gemuk-gemuk, tidak cacat, dan sehat” katanya sambil tertawa. Seorang ibu yang cerewet ini ternyata sangat memperhatikan akan jasmani anak-anaknya walaupun mereka kurang bersyukur akan makanan itu. “Biasanya mereka curi uang suamiku kalau mereka ingin beli mie di warung untuk makan” ujarnya sambil tertawa. Seorang ibu ini memberikan makanan jasmani ke anak-ananya sagat alami dan dia berusaha memberikan semua apa yang dia miliki dan itu berhasil. Selain itu, ibu ini juga sangat memperhatikan kebutuhan rohani anak-anaknya. “Saya pasti tidak bisa sampai di titik ini tanpa Tuhan di hidup saya, setiap pagi saya ajak mereka berdoa supaya mereka juga bisa hidup di kehidupan yang kekal” ujarnya sambil memegang sebuah alkitab di tangannya. Ternyata seorang ibu yang cerewet ini sangat peduli terhadap kebutuhan jasmani dan rohani anak-anaknya, inilah semua dibalik cerewet seorang ibu. “Sekarang mereka juga ada yang merasakan hal yang sama karena ada yang sudah menikah, ada yang sudah jadi ayah dan ibu dan mungkin sekarang mereka tertawa karena yang telah mereka lakukan ke saya” katanya sambil tersenyum. Ternyata anaknya ada 7 orang yang sudah berkeluarga dan 3 orang lagi masih di bangku sekolah. Ternyata ibu yang berusia banyak ini dihiburkan oleh kesuksesan anak-anaknya yang ada di Nias dan juga di luar Nias seperti Jakarta, Bekasi, Bogor dan masih banyak lagi.

Sukses itu Dimulai dari Kita

Konsep sukses menurut ibu ini sangat berbeda dari yang lain, jika yang lain berkata bahwa sukses itu ketika kita menikmati seluruh hasilnya namun ibu ini berbeda, “cita-citaku menjadi guru tidak tercapai namun anakku lebih dari guru, itu artinya saya sukses menyukseskan mereka” katanya dengan mata yang berkaca-kaca. Tentang kesuksesan memang berbeda-beda setiap orang, bagi ibu ini kesuksean adalah cerewet yang membuat anaknya menjadi sukses. Dia memulai dari dirinya sendiri untuk menyukseskan orang lain dengan kata lain cita-citanya dia salurkan kepada anak-anaknya. “Saya sangat senang telah menyelesaikan tugas saya sebagai seorang ibu, dan telah melihat cucu-cucuku yang imut-imut, itu sudah cukup bagi saya” ujarnya sambil tertawa kecil. Hayati sudah diminta oleh 7 orang anaknya untuk berhenti bekerja di ladang namun dia memilih untuk tetap bekerja di ladang. “Bekerja di ladang sudah menjadi pekerjaan yang dari dulu, saya pernah ada di rumah anakku di Jakarta namun saya gk bisa hidup jika saya di rumah terus, saya ingin bergerak menikmati alam, saya gak tau kenapa tapi saya tetap memilih untuk di kampung” ujarnya, seorang ibu ini sudah menjadi seorang petani yang sejati dengan tidak meningalkannya walaupun banyak tawaran, dia tetap memilih hidup sederhana karena alam sudah ada dalam hati dan pikiranya. Cerewet dan kemarahanya hanya sebatas harmoni dalam rumah tangga dan harmoni kehidupan kepada anak-anaknya. “Biasa itu dalam kehidupan, kalau tidak ada pahit, manis pun tidak menjadi enak, dan jika tidak ada manis, pahitnya pu tidak menjadi enak, itu sama dengan kemarahan seorang ibu dan kerawelannya menjadi sebuah pemanis dalam kehidupan” ujarya. Ibu ini berhasil membuat anaknya memegang berbagai profesi seperti penjahit, pengusaha, karywan di perusahaan dan sebagian yang masih ada di bangku sekolah. Melalui seorang ibu inilah, perjalanan anak-anaknya berhasil. “Hidup berbicara tentang melakuka yang terbaik meskipun peran kita berbeda-beda” ujarnya sambil tersenyum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Intercultural Communication

CULTURE SHOCK

NON-VERBAL COMMUNICATION